Menyeruput kopi Gayo sambil menyaksikan lomba pacuan kuda tradisional merupakan sensasi sekaligus pengalaman yang tidak akan terlupakan.
Apalagi lokasi pacuan kuda tersebut berada di dataran tinggi Gayo, Takengon, Ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Berada di ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut, membuat Dataran tinggi Gayo memiliki nuansa alam yang sejuk, udara gunung yang segar, dan ragam budaya Aceh yang khas.
Kopi Gayo merupakan kopi yang ditanam di hawa dingin dataran tinggi Gayo, pemandangan alam, kekuatan budaya. Sensasi dataran tinggi, pemandangan alam dan kekuatan budaya inilah yang ditawarkan kepada wisatawan kala berkunjung ke Perlombaan Tradisional Pacuan Kuda pada 27 Agustus 2017 di Lapangan Pacuan Kuda H M Hasan Gayo Belang Bebangka Pegasing, Aceh Tengah.
Alhasil, banyak sekali wisatawan yang kagum dan terkesan dengan acara tersebut. Pacuan kuda itu hanyalah atraksi buatan, untuk melihat atraksi alam dan budaya yang lebih dalam di Aceh.
Lomba pacuan kuda tradisional yang digelar sebagai rangkaian peringatan HUT ke-72 RI ini mengusung tema ‘Terus Berpacu Lestarikan Budaya Majukan Negeri’.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Reza Fahlevi, mengatakan bahwa perlombaan tradisional pacuan kuda di dataran tinggi Gayo ini sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat dataran tinggi Gayo. Pacuan kuda Gayo telah dilakukan sejak zaman kependudukan Belanda, yang digelar sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen.
Dalam pacuan kuda tradisional ini, joki-joki cilik menunggang kuda yang berlari kencang tanpa menggunakan pelana.
“Yang kami promosikan yakni dataran tinggi Gayo itu sendiri, yang memiliki banyak ragam pesona alam dan budaya sebagai daya tarik wisata yang layak dijual dan dipromosikan kepada wisatawan nusantara dan mancanegara,” ujar Reza didampingi Kepala Bidang Pemasaran Disbudpar Aceh Rahmadhani.
Reza juga mengatakan bahwa kegiatan pacuan kuda ini telah menjadi tradisi dan semangat dalam menyatukan masyarakat di dataran tinggi Gayo. Seperti Aceh Tengah, Bener Meriah dab Gayo Lues yang selalu diselenggarakan pasca panen padi dan jelang peringatan HUT kemerdekaan RI.
Hal tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala kerja keras dan keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat setempat.
“Dengan kekuatan tradisi dan alamnya tersebut, maka perlombaan tradisional pacuan kuda merupakan salah satu atraksi wisata unggulan yang akan digelar tahunan yang terangkum dalam Calendar of Event Aceh, maupun Calendar of Event Kementerian Pariwisata dalam rangka mewujudkan 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2019,” ungkap Reza.
Rahmadhani menambahkan, melalui kegiatan Perlombaan Tradisional Pacuan Kuda di Takengon menjadi momen untuk mempromosikan wilayah dataran tinggi Gayo dengan berbagai potensi dan kekayaan alamnya.
“Pacu kuda menjadi wahana tidak hanya mengajak wisatawan untuk menikmati sensasi unik pacuan kuda tradional yang dilakukan oleh para joki tanpa menggunakan pelana dan menjelajahi pesona alam dan budaya masyarakat di dataran tinggi Gayo sebagai sebuah tradisi masyarakat setempat. Tapi juga mempromosikan daerah Gayo sebagai destinasi wisata agro dan adventure kepada wisatawan,” ungkap Rahmadhani.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengapresiasi terselenggaranya perlombaan tradisional pacuan kuda di dataran tinggi Gayo. Kopi Gayo yang sudah mendunia akan semakin dikenal dengan perlombaan ini.
Kolaborasi antara kopi Gayo dengan kekuatan budaya dan pemandangan alam menjadi atraksi yang menarik bagi pariwisata Aceh secara keseluruhan. Termasuk wisata halal yang menjadi ikon Provinsi Aceh.
“Sudah betul, bila Aceh menempat Halal Tourism Destination sebagai core economy daerah,” tegas Arief.
Pertama, sejak 2014 terjadi ledakan pasar wisata halal di dunia. Besarnya pasar wisata halal itu sangat signifikan, dari 6,8 miliar penduduk dunia, 1,6 miliar merupakan muslim dan 60 persen di bawah 30 tahun. Bandingkan dengan total penduduk Tiongkok 1,3 miliar orang dengan 43 persen di bawah 30 tahun.
“Total pengeluaran wisatawan muslim dunia US$ 142 miliar, hampir sama dengan pengeluaran wisatawan Tiongkok US$ 160 miliar, yang sekarang ini menjadi rebutan seluruh negara di dunia, terutama yang mengembangkan pariwisata,” jelas Arief.
Kedua, lanjut mantan Dirut PT Telkom ini, dari sisi sustainability atau growth wisata halal, juga naik signifikan, 6,3 persen. Lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan dunia 4,4 persen, lebih besar dari rata-rata growth China 2,2 persen dan ASEAN 5,5 persen.
Data dari Comcec Report February 2016, crescentrating tahun 2014 ada 116 juta pergerakan halal traveler. Mereka memproyeksikan pada 2020 akan menjadi 180 juta perjalanan, atau naik 9,08 persen. Di Indonesia juga naik dalam 3 tahun terakhir rata-rata 15,5 persen.
“Semakin kuat, size-nya besar, sustainability-nya juga besar,” ungkap Arief.
Ketiga, lanjut dia spread atau benefit-nya juga besar. Rata-rata wisman dari Arab Saudi itu membelanjakan US$ 1.750 per kunjungan. Uni Emirate Arab (UAE) US$ 1.500 per kepala. Angka itu jauh lebih besar dari-rata-rata wisman dari Asia yang berada di kisaran US$ 1.200.
“Karena itu sudah memenuhi syarat 3S, size, sustainable, dan spread. Ini menjadi alasan paling kuat, mengapa Aceh harus menetapkan pariwisata sebagai portofolio bisnis-nya. Menjadikan halal tourism sebagai core economy-nya,” tegas lulusan ITB Bandung, Surrey University Inggris dan Program Doktor Unpad Bandung itu.